Banyak pertanyaan yang mengarah kepada sebuah apatisme yang hampir menjadi momok yang sangat menakutkan, yakni tentang eksistensi idealisme yang selama ini adalah sebuah identitas yang melekat erat dalam diri seorang mahasiswa ataupun aktivis, dan apakah memang idealisme itu memang sudah tidak diperlukan atau It’s doesn’t exist, yang kita lihat seperti itu, banyak orang entah pejabat, mahasiswa, dosen yang bermuka manis demi mempertahankan sesuatu yang sifatnya palsu dan menggejala pada orang-orang penjilat yang tumbuh subur. Dan ataukah idealisme itu merupakan sebuah pilihan yang diserahkan kepada masing-masing personal yang melekat menjadi sebuah privacy yang tak tersentuh.
Idealisme yang merupakan sebuah tatanan nilai serta prinsip-prinsip kemanusiaan yang berlaku universal haruslah dipandang sebagai suatu bagian alami dari manusia itu sendiri, idealisme yang dimaksud disini bukanlah pengertian idealisme yang merupakan lawan sejati materialisme dalam perdebatan filsafat yakni perbedaan mana yang menjadi nomor wahid atau mana yang lebih utama ide atau materi, tetapi idealisme yang disebutkan dalam awal paragraf kedua ini, yakni tatanan nilai dan prinsip kemanusiaan. Idealisme seringkali menjadi sebuah perbedaan perspektif mulai dari perspektif bebas nilai sampai keberpihakan, tergantung siapa yang dan dalam posisi mana menilai idealisme tersebut. Perbedaan perspektif ini kemudian mengarah kepada perbedaan gerak dan langkah dalam melakukan aktivitas dan tindakan terhadap suatu hal. Dan perbedaan ini bukan hanya pada tataran perbedaan perspektif idealisme antara bebas nilai atau tidak, tetapi sampai pada tataran bahwa idealism is non cent, sehingga perdebatan dan pertarungan ini sampai pada tataran yang mulai dari hanya sebatas cashing sampai pada perdebatan ideologis. Sehingga berangkat dari hal diatas maka, pendekatan yang digunakan dalam menjustifikasi sebuah pelacuran idealisme dapat dicermati lebih lanjut, maksudnya dapat menganalisa sebuah kondisi dimana, apa dan bagaimana sebuah pelacuran idealisme tanpa terjebak dalam sebuah perdebatan perspektif dalam masalah ini.
Fenomena dan sejarah banyak membuktikan yang terjadi di Indonesia, seperti beberapa tokoh reformasi dalam gerakan mahasiswa 1998, yakni aktivis-aktivis forkot (Forum kota) yang sangat anti orde baru ternyata malah sekarang menjadi orang partai tersebut dan mengadopsi pola-pola hegemoni rezim yang pernah mereka lawan, dan dengan iming-iming jabatan dan kehidupan yang lebih baik. Berarti disini telah terjadi suatu proses pembentukan harga sebuah barang abstrak yang bernama idealisme, dimana perlawanan dan sebuah prinsip dan konsistensi perjuangan membela rakyat dan kaum tertindas ditambah dengan sejumlah massa dan pengaruh menjadi sebuah harga tawar yang tinggi atau mempunyai nilai jual yang tinggi jika mau menukarnya, idealisme seharga dengan mobil Mercedes Benz dan bahkan seharga nasi bungkus. Aktivis-aktivis LSM yang dikenal anti Bank dunia dalam program pemberantasan kemiskinan berubah menjadi pendukung lembaga itu setelah mendapat beasiswa Bank dunia perbulan dan studi beberapa tahun diluar negeri. Atau mungkin sekarang yang lagi ngetrend yakni bisnis Multi Level Marketing (MLM) yang dilakoni oleh para mantan aktivis yang dengan tujuan bisnis dan keuntungan pribadi bertopeng dengan alasan “mencuri logistic” untuk gerakan, dan lebih parah lagi, hal ini dilakukan dengan menjual nama ideologi tertentu. Yang ditekankan disini bukan untuk menjustifikasi secara langsung bahwa ini adalah sebuah pelacuran idealisme, tetapi menganalisa secara perspektif tentang hal tersebut. Sebenarnya ini menjadi sebuah wacana yang seharusnya usang, karena sejak dulu ada suatu siklus yang terus-menerus menjadi kerangka perjalanan kehidupan di negeri kita ini. Kita bisa melihatnya dari status kemahasiswaannya, saat mahasiswa dia adalah seorang aktivis kampus yang kesohor kekritisannya, mulai dari isu politik sampai gender diangkangi dengan label gerakan moral dari seorang yang katanya berstatus agent of change dan social control , kemudian setelah sarjana yang merupakan proses perjalanan dari tridharma perguruan tinggi yakni pengabdian pada masyarakat, maka sudah saatnya mengubah permainan. Saatnya tukang protes beralih menjadi yang diprotes yakni pejabat pemerintah yang selalu membuat kebijakan yang tidak populis alias menyengsarakan dan tidak berpihak kepada rakyat kecil/tertindas,melakukan korupsi Dsb. Sehingga, yang menjadi pertanyaan mendasar kita disini adalah, tidakkah pembela rakyat yang berlabel mahasiswa itu, yang dengan keperkasaanya melakukan kritik-kritik, membangun gerakan, diskusi sampai mulut berbusa, membaca sampai biji mata keluar adalah suatu proses pembangunan bargaining Position ?? yakni pembangunan posisi tawar seorang aktivis agar mempunyai harga jual ketika akan terjun ke dunia politik atau kehidupan diluar kampus. Ataukah memang sistem sosial, dan alur cerita kehidupan dimana mainstreamnya mengajarkan kita satu hal yang sangat berarti. Bahwa harga diri, moralitas, idealisme, eksistensi dan kepedulian adalah variabel yang menentukan untuk menghasilkan cetakan-cetakan manusia modern. Yakni apakah menjadi pengecut, penakut, penjilat dan peragu. Atau sebaliknya, mereka yang terkesima dengan masa depan yang tidak dibangun oleh nominal uang dan keramahtamahan palsu, serta kekuasaan yang bobrok. Mereka yang tidak takut untuk berpanas-panas untuk mengucurkan keringat demi sesuatu yang hakikat dan mengucurkan air mata yang jujur dan tulus melihat penderitaan dan penindasan terhadap manusia manusia lain.
Berbagai kebudayaan dan keyakinan umat manusia, sesungguhnya terus menerus berusaha untuk menjaga dan mempertahankan penyelenggaraan pendidikan secara turun temurun, penyelenggaraan pendidikan menjadi kewajiban bagi kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya sehingga manusia adalah finalitas dari pendidikan itu sendiri. Dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya, mereka senantiasa menjaga dan melanjutkan tradisi pendidikan melalui berbagai bentuk dan institusi pendidikan tersebut saling berlomba-lomba untuk mendidik manusia sehingga melahirkan berbagai model dan bentuk institusi pendidikan. Lahirnya faham bahwa “pendidikan” pada dasarnya adalah hak asasi manusia untuk melanggengkan eksistensi manusia dari kepunahan. Pilihan politik bangsa Indonesia sudah sangat jelas. Negara mempunyai tanggung jawab memerdekakan bangsa. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya, baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun menjamin tidak ada perlakuan diskriminatif. Akan tetapi, kenyataannya, makin banyak anak putus sekolah dan tidak bisa mengakses pendidikan. Itulah sebabnya dapat disimpulkan bahwa setiap kegiatan politik, ekonomi, maupun sosial yang bertujuan untuk menghalangi, ataupun yang akan memyebabkan anggota masyarakat tidak mendapatkan pendidikan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Telah lama praktik pendidikan formal dikritik sebagai penyemai disintegrilitas cara berpikir kaum terpelajar : melalui pendidikan, orang membatasi perspektif universal, membangun getol sosial yang ekslusif terhadap orang lain. Pendidikan menumbuhkan alienasi dan penalaran logikal dalam menafsirkan pengalaman hidup. “Pendidikan membuat kaum terpelajar mengadopsi penalaran subyektif (subjektif reasoning) dalam berpikir dan bertindak dengan hanya mempertimbangkan situasi dan normanya sendiri”. Dalam penalaran subjektif, fungsionalitas menjadi ukuran apakah suatu gagasan dan tindakan itu logis dan dapat diterima atau tidak. Meminjam Max Horkheimer, Pendidikan semestimya menumbuhkan penalaran objektif (objective Reasoning) : Prinsip universalitas sebagai patokan cara berpikir dan bertindak yang mengatasi lokalitas , identitas, dan kepentingan pribadi /kelompok. Para pembaru pendidikan Henry Girouks, menekankan peran vital pendidikan dalam membangkitkan kesadaran individu atas hak dan tanggung jawab publik. Ataukah memang pendidikan hanya lebih menjadi legitimasi sekelompok elit sosial politik lewat sistem pendidikan yang manipulatif serta menutup jalan kreatifitas. Karenanya, tidaklah mungkin terjadi perkembangan dan perubahan, kalau orang sudah kehilangan kesadaran ( awareness ). Salah satu tugas pendidikan zaman ini, melihat ada sejumlah penyebab kemerosotan dalam bidang pendidikan. Eksklusivisme dalam penyelenggaraan pendidikan cenderung tidak melihat pendidikan sebagai proses yang menyatukan sebagai bangsa. Di berbagai daerah, kualitas pendidikan sangat rendah dan terjadi proses perampasan keunggulan lokal.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan tinggi saat ini menghadapi perubahan besar yakni era otonomi pendidikan yang dituntut untuk mandiri ada didepan mata dan hari ini banyak kalangan mengkritik Proses pendidikan formal yang belum mampu membangun keterlibatan individu dalam politik kehidupan bersama. Dimana, arus dan alih –alih untuk membangkitkan kesadaran individu atas hak dan tanggungjawab publik, pendidikan membesarkan kesadaran individu atas kepentingan sendiri. Memang tidak bisa diingkari pendidikan sangat berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Dan beberapa person orang yang menyadari bahwa pendidikan menjadi agen perubahan social. Pola yang tertanam dalam masyarakat akan lapangan kerja, persyaratan dan gelar tertentu “merayu” model pendidikan untuk menyesuaikan diri dengan “kebutuhan” pasar . Pendidikan juga tak dilihat secara utuh. Manusia yang berkualitas jangan dilihat dari dimensi ekonominya saja. Pendidikan juga harus didemokratisasikan, jangan dimonopoli oleh negara atau sekelompok orang.
Pada saat ini arus Liberalisasi pendidikan dikhawatirkan akan mengarah pada “McDonalisasi pendidikan tinggi” sehingga Biaya pendidikan yang kian tinggi yang akan menghasilkan program pendidikan yang cepat saji dan serba menguntungkan secara keuangan(ada logika dagang disana), yang dapat menghasilkan paradigma pendidikan sebagai investasi ekonomi dan selanjutnya pendidikan tinggi akan kehilangan kekuatan moralnya karena berfungsi hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan perkembangan industri dan “McDonalisasi pendidikan tinggi” akan mengubah pendidikan tinggi sebagai suatu lembaga cepat saji dan miskin karena tujuannya memberikan pendidikan yang cepat, asal kenyang tapi tidak punya visi masa depan yang jelas. Masuknya kekuatan industri akan melunturkan kekuatan moralitas dalam menegakkan kebenaran dan meningkatkan ilmu karena diikat kepada sumber-sumber pembiayaan dari sektor industri. Berkaitan dengan liberalisasi jasa pendidikan tinggi. Seperti misalnya penjualan jasa pendidikan hanya tertarik untuk menjual jasa pendidikan yang laku di pasar, misalnya pendidikan bisnis dan teknologi yang padat modal. Sementara yang sekarang memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk dibidang tersebut adalah perusahaan multinasional dan Negara maju, sehingga berpotensi untuk memperbesar kesenjangan antara Negara maju dan Negara miskin. Selain itu pendidikan akan dinilai secara ekonomis. Dimana semua kurikulum dan metode pengajaran ditentukan oleh si pemilik modal berdasarkan analisis untung rugi, dengan demikian aspek non-ekonomis yang mendasar dari pendidikan tidak lagi mendapat perhatian. Jadi, jangan heran ! ketika tidak ada korelasi antara jumlah keluaran pendidikan tinggi dengan angka tenaga kerja produktif dan perbaikan moral dalam masyarakat. Karena motif persaingan dijadikan motor untuk meningkatkan kualitas tanpa pertimbangan moral dan pada saat yang sama. Ingat kawan ! tiga Negara yang menjadi eksportir terbesar jasa pendidikan yaitu AS, Inggris dan Australia yang paling diuntungkan dalam liberalisasi pendidikan dan tidak mengherankan mereka yang amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO. Sampai bulan April 2005 jumlah initial offers (sector-sektor yang diinginkan untuk dibuka dinegara lain dan diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri) dari 50 negara yang mewakili 74 negara anggota yang menghasilkan dua komitmen yang akan dilakukan dalam waktu dekat adalah Indonesia dan Uganda.(IGJ,BuletinGlobal Justice Up Date). Apalagi di Indonesia, sampai sekarang belum ada ada cetak biru pengembangan sektor jasa. Potensi jasa Indonesia ada dimana, bagaimana pengembangan, perlindungan dan lainnya hanya ada sedikit informasi perkembanganya bahwa perdagangan ekspor impor jasa selama ini selalu defisit, yang berarti impor jasa lebih tinggi dari ekspor diantaranya adalah sektor pendidikan, sehingga sektor inilah yang kemudian dikomodifikasi ( Comodification) dimana ini merupakan proses transformasi yang menjadikan “sesuatu”contoh sektor pendidikan, menjadi komoditi/barang untuk diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan yang sesungguhnya dan merupakan cermin dari kecendrungan ideolog global yakni dampak liberalisasi perdagangan global terhadap komodifikasi yang saat ini telah mengancam umat manusia dan apabila telah resmi maka akan terpampang di situs WTO, yang bisa diakses siapapun.. Sehingga pemerintah dibanyak negara mulai melepas tanggungjawab dalam pembinaan pendidikan yang berdampak dapat memperburuk akses kelompok masyarakat yang pendapatanya rendah untuk mengakseskan pendidikan tinggi yang berkualitas. Selanjutnya dari Kondisi inilah yang dapat berpengaruh, memunculkan dan membentuk motivasi paradigma pendidikan yang instant/cepat saji untuk mengembalikan investasi bagi setiap individu yang ada didalam dan pada saat proses menjalaninya, dengan melalui cara, upaya apapun sehingga, Inipulalah yang dapat membuka peluang dalam pengabaian tanggungjawab individu atas rasa dan nilai-nilai keadilan publik. Karena tidak bisa dipungkuri bahwa kita dan sebagian masyarakat telah masuk dalam suatu fenomena globalisasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, tiba-tiba kita memasuki budaya instan yang dapat membawa orang kepada gaya hidup tertentu.
Fenomena aktivisme mahasiswa yang heroik namun bermotif ini menjadi suatu hal yang sangat mengejala dalam percaturan gerakan, dan bisa dipastikan bahwa banyak pejabat pemerintah dan borjuasi lainnya adalah mantan aktivis kampus, ketua BEM, ketua organ mahasiswa atau ketua himpunan dan organisasi lainnya yang notabene dididik dalam dunia yang dibilang suci dan ilmiah dari kegiatan politis, menjadi aktor utama dan mayoritas dari fenomena ini. Walaupun demikian, hal ini janganlah sampai digeneralisasi , karena banyak juga orang yang dengan ideologi yang jelas dan prinsip yang memang menjadi seorang penggerak social, bukan aktivis gadungan yang pensiun ketika sudah agak mapan.
Fenomena ini sering dinilai bahwa, hal ini wajar karena kondisi objektif yang dihadapi masing-masing personal, dan ini diserahkan kepada personal. Dan seperti salah satu pendapat yang disebut diatas yakni, hal ini adalah sebuah privacy seseorang sehingga merupakan suatu hak dan pilihan masimg-masing mau dikemanakan dirinya. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah harga idealisme seseorang dengan yang seringkali seharga jabatan dan kekayaan ataupun sejenisnya adalah murni seharga dirinya sendirinya tanpa ada nilai atau basis material lainnya yang sebenarnya tanggungjawab dan milik bersama telah ikut dijual demi kepentingannya sendiri ?. Dan jawabannya adalah pasti, bahwa seperti yang diungkap diatas ada sesuatu yang melekat di dalam dirinya dan dia punya kesempatan untuk menjualnya atau lebih tepat melacurkan hal itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa dia juga telah melacurkan orang lain untuk kepentinagan pribadi. Jadi ternyata ini bukan persoalan Privacy seperti yang digembar-gemborkan, karena “pelacuran idealisme” yang terjadi adalah serta merta pelacuran milik bersama suatu kolektif untuk kepentingan diri sendiri tetapi mengatasnamakan hak dan privacy , inilah sebuah pelacuran nilai dari suatu tatanan kolektif yang sebenarnya tidak pernah bisa menjadi milik pribadi, karena apa yang dilakukannya juga berakses langsung terhadap kolektif, ataukah memang idealisme hanyalah topeng untuk menutupi realitas kebusukan dan egoisme aktivis ?, dimana diluar sana petani, nelayan, buruh dan kaum miskin kota yang tersingkir dan digusur dalam area penguasaan sumber daya agraria, diproteksi dan didepak ketika berteriak atas rendahnya gabah dan dianggap rakyat bodoh ketika menyuarakan haknya dan harus mengalah ketika kekuasaan berbicara, dan selalu termarginalisasi oleh perkasanya pasar dalam memperoleh kesempatan pendidikan tetapi anehnya disanjung ketika panen raya tiba, dan hasil produksi meningkat oleh elusan tangan penguasa dan akankah mereka masih tetap bersabar menanti perubahan dari tangan anak anak bangsa hari ini. Dan masalahnya, oleh siapa visi dan misi pendidikan harus diwujudkan? Mengingat tak sedikit insan dalam dunia pendidikan melakukan hal tersebut dan jangan-jangan pada saat inipula yang menegaskan kalau kita memang masih bangsa yang kerdil dengan ahli-ahli dan penyelenggara pendidikan yang kerdil pula, dengan kondisi pendidikan di tengah wacana pendidikan gratis dan arus globalisasi, swastanisasi pendidikan yang mengarah pada McDonalisasi pendidikan bergulir di negara kita. Dan dapatkah idealisme mampu bertahan pada kondisi di atas dan pendidikan yang bagaimana yang dapat menghasilkan manusia yang mampu bersaing tanpa “membunuh” lawan, yang bersaing untuk menyajikan yang terbaik bagi masyarakat dengan harga yang “Manusiawi”. Sejarah menunjukkan, sistem pendidikan yang tidak kuat akan menyebabkan keruntuhan sebuah bangsa. Maka upaya mewujudkannya ada pada mereka yang berpikir, berkehendak dan bertindak dengan baik.
Oleh
Irwan A Ode
PELACURAN IDEALISME DAN MCDONALISASI PENDIDIKAN TINGGI
Misi Manusia
Dalam buku Seven Habit Highly Efective People, Steven Covey menekankan akan pentingnya sebuah pernyataan misi. Saya setuju bagi mereka yang belum mengetahui misi hidupnya. Tetapi kita, sebagai umat Islam sudah memiliki misi hidup, yang merupakan tujuan di ciptakannya manusia. Untuk mengetahui atau mengingat misi kita, kita tinggal membuka Al Quran, di sana sudah tertulis jelas tentang misi kita.
Bukan berarti Anda tidak boleh menulis pernyataan misi. Silahkan saja jika ingin menyalin kembali misi kita yang sudah tertulis di Al Quran. Misalnya Anda ingin menulis di buku harian Anda.
Misi manusia menurut Al Quran pada intinya ialah beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi. Pengertian ibadah disini ialah melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Ibadah bukan hanya shalat dan puasa, tetapi dalam segala aspek kehidupan kita.
Sedangkan misi kita sebagai khalifah, menuntut kita untuk membangun, baik aspek materi maupun ruhani. Hal yang bersifat materi ialah masalah fisik manusia dan alam semesta beserta isinya. Sedangkan membangun ruhani dengan cara menerapkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan manusia.
Setelah manusia membangun alam ini dengan arahan syariat, maka selanjutnya ialah memeliharanya. Sama hal seperti membangun, yang dipelihara adalah aspek materi dan ruhani. Seperti halnya rumah, setelah dibangun rumah tersebut perlu dipelihara agar tetap ada. Selanjutnya sebagai khalifah kita juga memiliki tugas untuk menjaga agama, nafsu, akal, harta, dan keturunan manusia.
Apakah kita bisa untuk mengemban misi kita itu semua? Insya Allah kita bisa, karena Allah Maha Tahu, Allah tahu sampai dimana potensi dan kemampuan kita. Jika kita tidak merasa mampu berarti kita belum benar-benar mengoptimalkan potensi kita.
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
(QS.Al-Baqarah:286)
KITA BELAJAR
10% dari apa yang kita baca
20% dari apa yang kita dengar
30% dari apa yang kita lihat
50% dari apa yang kita lihat dan dengar
70% dari apa yang kita katakan
90% dari apa yang kita katakan dan lakukan
Dari Politisasi Hingga Komersialisasi Budaya
Saat ini budaya Indonesia menghadapi serbuan dari dua sisi, luar dan dalam. Dari luar ia menghadapi politisasi budaya. Sedang dari dalam ia menghadapi komersialisasi budaya. Di masa lalu, pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, politisasi itu datang dari luar masyarakat, yaitu dari kekuasaan. Pada masa kini politisasi itu datang dari masyarakat sendiri. Gejala terakhir ini kalau tidak segera dihentikan akan jauh lebih merusak, karena dapat menyentuh sendi-sendi budaya. Komersialisasi budaya terjadi pada budaya populer, seperti media massa dan televisi.
Budaya populer kita, musik dan nyanyi-dengan beberapa pengecualian-tidak pernah menjadi dewasa, selalu remaja, cengeng. Sekarang ini memang politisasi dan komersialisasi bu¬daya hanya menyangkut sebagian budaya, tetapi bukan tidak mungkin gejala kedua-duanya akan mengenai pula budaya secara total, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu. Seperti kita ketahui politisasi berupa romantisme rakyat -”Atas Nama Rakyat”, “Politik sebagai Panglima”-dan uniformasi ideologis pada zaman Orla terjadi tidak hanya pada budaya populer, tetapi juga pada budaya tinggi, seperti dunia intelektual, seni lukis, sastra, teater, musik dan tari.
Hubungan budaya dan politik berubah pada za¬man Orba dan pasca-Orba. Pada zaman Orba, budaya tidak larut dalam politisasi, tidak pernah menjadikan Pembangunan atau Ekonomi atau Politik sebagai ideologi, tetapi melihat rakyat secara realistis, kebanyakan budayawan malah beroposisi. Akan tetapi, ada usaha Jawanisasi dan uniformasi budaya dari pihak kekuasaan Orba. Ada vulgarisasi budaya pada pasca-Orba, dengan menjadikan simbol-simbol budaya untuk propaganda politik.
Bukan tidak mungkin gejala politisasi seperti zaman Orla berupa romantisasi rakyat dan uniformasi ideologis, Jawanisasi dan uniformasi zaman Orba, dan vulgarisasi budaya pasca-Orba itu kembali lagi, sebab ternyata budaya politik kita itu berupa cakramanggilingan (roda yang berputar kembali) dan tidak maju. Sementara itu, politisasi dan komersialisasi budaya pada pasca-Orba dilakukan oleh masyarakat sendiri. Karenanya, kita khawatir kalau budaya kita berjalan tanpa kritik, budaya akan diperlakukan sewenang-wenang justru oleh masyarakatnya sendiri. Perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa akan berhenti dengan hilangnya kekuasaan, tetapi perlakuan yang sama oleh masyarakatnya sendiri akan menimbulkan dampak lebih luas dan lebih lama. Mudah-mudahan betul bahwa politisasi hanya gejala sementara. Tetapi, kita khawatir dengan komersialisasi, sebab komersialisasi itu gejala permanen. Waspadalah !!!
Obamamenal..
Dunia baru saja dipertontonkan sebuah pesta demokrasi terbesar di AS. Ya, sebuah pagelaran yang paling banyak menyita perhatian publik dunia, Pemilihan Presiden Amerika Serikat. Dan dengan melalui sebuah perjalanan yang panjang, Barrack Hussein Obama akhirnya berhasil terpilih sebagai presiden ke-44 AS.
Gegap gempitapun hampir menyelimuti seluruh dunia. Banyak kalangan bahkan Negara-negara termasuk Indonesia menyambut positif hasil pemilihan tersebut. Mereka menilai bahwa terpilihnya Obama dapat memberikan dampak positif di segala dimensi kehidupan secara global. Sebagian rakyat Indonesia menganggap terpilihnya Obama sebagai presiden baru AS akan mampu mengatasi krisis ekonomi global dan Indonesia akan mendapat perhatian yang cukup besar dari Sang Presiden. Benarkah demikian ?
Secara historis, Obama memang pernah tinggal di Indonesia selama 10 tahun dan sempat mengenyam pendidikan di SDN 2 Menteng Jakarta. Obama memiliki Ibu seorang Amerika dan Ayah seorang Kenya. Karena perceraian, Orangtua Obama pun pisah. Pasca perceraian, Sang Bunda kemudian bersuamikan orang Indonesia. Jadilah, Obama Kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya di Indonesia. Tetapi apakah hanya karena romantisme temporer tersebut Obama akan memberikan perhatian lebih terhadap Negara ini ?
Tidak ada yang salah dengan harapan tersebut. Yang harus diingat, setiap kebijakan yang dibuat, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan luar negeri tidak akan serta merta ditentukan sendiri oleh Obama. Ia harus mendapat persetujuan dari penasehat politik, pentagon, media massa dan berbagai elemen penyokong pemerintahan lainnya sebelum memutuskan suatu kebijakan. Apalagi Obama tetap mengusung isu perang di Afganistan. Karena bagaimana pun, Amerika adalah Amerika, Negara yang dibangun dengan pondasi kapitalisme.
Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Sebenarnya, pemerintah Indonesia memiliki kesempatan yang cukup besar dalam membangun hubungan diplomasi yang lebih baik dengan AS. Indonesia dapat melakukan lobi-lobi dengan beberapa keluarga Obama yang berasal dari Indonesia. Karena jika berharap dari segi kebijakan, tidak ada artinya.
Terlepas dari itu semua, Obama adalah sosok yang paling diimpikan oleh seluruh warga AS bahkan Dunia. Ia sudah menjadi seorang The American dream. Tentu saja, keberhasilan ini tidak terlepas dari tim kampanye yang dimilikinya yang berhasil mengkarakterkan sosok Obama yang penuh Obsesi, muda, intelektual dan siap mengubah dunia. Bahkan tim kampanye Obama merupakan yang terbaik sepanjang pemilihan Presiden AS. Tema-tema yang diusung pun seperti “change” dan “Bush adalah biang keladi keterpurukan AS” telah berhasil membius dan mengubah paradigma warga AS.
Di sisi lain, terpilihnya Obama telah menghapus rasisme yang cukup kuat di AS hingga saat ini, ia menjadi presiden kulit hitam pertama di AS. Ia telah berhasil menghapus mainstream perpolitikan AS saat ini dan keluar dari koridor WASP yang selama ini terus membayangi pemilihan Presiden AS. WASP : White (kulit putih), Anglo-Saxon (nenek moyang berasal dari Eropa, khususnya Inggris) dan Protestan. Dari background pendidikan, Obama bukan mahasiswa biasa. Ia adalah mahasiswa Jebolan Law Harvard University. Istrinya, Michelle Obama pun memilki latar belakang pendidikan yang sama dengannya. Keluarga Obama memiliki rumah mewah seharga U$D 1,65 juta yang berdiri megah.
Akhirnya, Obama menciptakan sebuah fenomena di dunia. Sebuah fenomena yang menyimpan sejuta harapan dan kenyataan. Obamamenal..
Mahasiswa Indonesia : What is to done ?
Era pasca-Soeharto sebenarnya tidak memadai apabila disebut sebagai masa stabilisasi ekonomi dan politik. Rendahnya mata uang Rupiah, rendahnya daya beli masyarakat, krisis pangan, krisis devisa merupakan ancaman serius yang tidak mungkin selesai dalam waktu singkat. Di sisi lain, kendati pun Pemilu telah menetapkan pemerintahan yang baru namun, keterkaitannya yang begitu dekat dengan kekuasaan sebelumnya, tanpa berusaha melakukan upaya-upaya mendasar serta menyeluruh untuk melepaskan kaitan itu, cepat atau lambat akan memicu ketidakpuasan rakyat.
Proses Konstitusional yang telah kita lalui - Sidang Istimewa, Pemilu, Sidang Umum, Presiden Baru- barulah menetapkan prasyarat demokrasi belum melaksanakan demokrasi. Demokrasi yang diterapkan secara penuh menuntut tegaknya pilar-pilar hukum. Sementara penegakan hukum pun lebih banyak menjadi komoditas media. Perasaan keadilan dan kemanusiaan dikalahkan oleh kepentingan rekonsiliasi nasional.
Apa yang kita lihat dalam tubuh organisasi tentara pun tak jauh berbeda. Paradigma baru mereka tentu saja bukan berarti apa-apa karena toh pelakunya sama; wajah baru, stok lama. Hingga saat ini mereka masih diakomodir dalam ruang-ruang publik (politik dan teritorial). Tak satupun para pelanggar HAM (dari kopral sampai Jenderal) yang terjerat hukum. Tentara tetap saja untouchable. Reformasi pun menjadi jargon dan sumber kelatahan pejabat -pejabat kita. Siapa yang tidak mengaku reformis? Sebagaimana jargon "globalisasi", "keterbukaan",dan "OTB" , dulu merupakan terminologi umum bagi pejabat (dan koran, tentunya) Begitulah, jauh dari panggang api.
Dalam kondisi seperti ini, gerakan mahasiswa seolah ditinggalkan gerbong reformasi yang dahulu didengung-dengungkannya. Kita saat ini berada dalam fase dimana tuntutan reforms saja tidak cukup, tidak memadai lagi. Perubahan-perubahan yang ada tidak bersifat substansif, baru kulit luarnya saja. Realitas politik secara substansif menuntut gerakan yang substansial jua. Proses yang dialami bangsa ini sekarang mengulang fakta sejarah dimana ketika dalam situasi kritis kelompok konservatif (dan /atau moderat) mengambil alih kekuatan dan tidak bertindak revolusioner, maka situasi akan kembali mencapai taraf ketidakpuasan yang luas. Berikutnya, kelompok ini akan ditumbangkan oleh rakyat yang menuntut perubahan yang lebih baik dan mendasar.
Gerakan mahasiswa harus segera mempertegas orientasi gerakan yang melibatkan rakyat dalam perubahan sosial. Mahasiswa adalah bagian dari gerakan rakyat. Perubahan politik macam apapun tidak mungkin terjadi apabila tidak didukung oleh kekuatan rakyat. Pengalaman era 1978, 1980-an terbukti gagal membangun kekuatan efektif manakala mereka memposisikan diri sebagai kelompok elitis, terpisah dari masalah rakyat, sibuk dengan wacana-wacana besar dan abstrak.
Selama tiga puluh tahun, wacana revolusi telah dikaburkan dan ditutupim oleh rezim orde baru. Revolusi olehnya diberi arti sempit sebagai prubahan yang pastimenelan korban, berdarah. Revolusi olehnya ditabukan, karena kekuatan manapun ingin agar dirinya tidak diganggu.Padahal tidak semua revolusi seperti yang dikuatirkan.Revolusi adalah perubahan cepat yang mendasar,menyeluruh, menggantikan sistem sebelumnya. Semuanya tergantung apakah kita mampu mengarahkan.
Proklamasi Indonesia sendiri tercapai justru berkat keikutsertaan mahasiswa(kaum intelektual) menggerakkan revolusi kemerdekaan. Tidak ada jalan lain. Setelah usha-usaha reform dicoba menembus benteng kekuasaan kolonial, baik lewat volkstraad maupun program-program partai pribumi. Namun karena sifat status Quonya, penjajah membuat perubahan pada kulit-kulit luarnya saja.
Pengalaman ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan rakyat menyusun posisi tawar yang tinggi hanya dap[at dijawab apabila terbangun aliansi taktis strategis kekuatan masssa progresif dengan kaum terpelajar, kaum menengah. Revolusi yang kita maksud adalah keluar bersifat nasional (Revolusi Nasional) yang kan menumbuhkan karakter berdikari Indonesia terhadap ketergantungan asing, kedalam bersifat kerakyatan (revolusi sosial) yaitu membesihkan feodalisme yang masih kuat dalam masyarakat kita. Diatas semua itu, revolusi kita harus berdasar atas prinsip-prinsip kemanusiaan unversal. Karakter revolusioner yangharus dimiliki setiap organisasi gerakan mehasiswa akan mempengaruhi bentuk dan sifat. Ciri gerakan yang terbuka dalam "Idiologi", longgar secara struktural, Independen, dan bersemangat Egaliter masih relevan dipakai.
Agar sampai pada tahap maximal, saatnya kini mahasiswa balik kandang: kampus. Sejak ini harus dibentuk komunitas-komunitas intelektual yang disiapkan secara serius menjadi pusat-pusat dialektika. Pusat dimana realitas sosial dianalisis dan diproyeksikan. Komunitas ini penting karena pada saat dimana momentum perubahan tiba, mahasiswa tidak lagi gagap dan mampu mengarahkan kekuatan rakyat. Mahasiswa harus sudah menyiapkan strategi dan taktik yang tepat bukan hanya untuk melakukan pendibrakan politik namun juga penyelesaian politik, sebagai mana yang telah dilakukan oleh generasi 1930-an. Selanjutnya penguatan jarinag antar elemen organisasi mahasiswa yang telah ada ditingkatkan sebagai media sharing, dialog mengenai penanganan kasus, atau isu, dan mempererat hubungn emosional untuk pada saatnya nanti digerakkan bersama-sama menjadi barisan yang utuh. Basis-basi s kampus dengan massa mahasiswanya yang militan, radikal dan terlatih, telah disiapkan menjadi kelompok penekan yang secara efektif melancarkan tuntutan -tuntutan aktual.
Bagian terpenting adalah menggalang kekuatan dengan sektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani, guru, kelompok profesional, dan lain-lain yang scara nyata dirugikan oleh kekuasaandan sadar akan kebutuhan perjuangan. Apabila hendak berjuang bersama rakyat mahasiswa haruslah meninggalkan karakter borjouis kecil atau borjouis imut-imut/ watak borju, mentalitas kere ,yang individualis, mempertahankan status quo (kemapanan ), takut pada revolusi, dan mendukung rezim penguasa. Aliansi yang demikian apapun nama dan bentuknya menuntut konsekwensi pada pilihan pendekatan. Pendekatan yang tepat adalah pendidikan politik dengan berdasar pada prinsip self help dan self confidence. Perubahan kemudian bukan hanya terletak pada pemahaman kognitif masyarakat melainkan juga harus menjadi kebutuhan (dan keharusan sejarah) masyarakat itu sendiri. Semangat perubahan tentu saja harus berakar pada sendi-sendi sosio kultural masyarakat. Dengan demikian perubahan yang dimaksud mengikuti hukum perkembangan masyarakat.
Selamat bekerja!!!