Mahasiswa Indonesia : What is to done ?


Era pasca-Soeharto sebenarnya tidak memadai apabila disebut sebagai masa stabilisasi ekonomi dan politik. Rendahnya mata uang Rupiah, rendahnya daya beli masyarakat, krisis pangan, krisis devisa merupakan ancaman serius yang tidak mungkin selesai dalam waktu singkat. Di sisi lain, kendati pun Pemilu telah menetapkan pemerintahan yang baru namun, keterkaitannya yang begitu dekat dengan kekuasaan sebelumnya, tanpa berusaha melakukan upaya-upaya mendasar serta menyeluruh untuk melepaskan kaitan itu, cepat atau lambat akan memicu ketidakpuasan rakyat.

Proses Konstitusional yang telah kita lalui - Sidang Istimewa, Pemilu, Sidang Umum, Presiden Baru- barulah menetapkan prasyarat demokrasi belum melaksanakan demokrasi. Demokrasi yang diterapkan secara penuh menuntut tegaknya pilar-pilar hukum. Sementara penegakan hukum pun lebih banyak menjadi komoditas media. Perasaan keadilan dan kemanusiaan dikalahkan oleh kepentingan rekonsiliasi nasional.

Apa yang kita lihat dalam tubuh organisasi tentara pun tak jauh berbeda. Paradigma baru mereka tentu saja bukan berarti apa-apa karena toh pelakunya sama; wajah baru, stok lama. Hingga saat ini mereka masih diakomodir dalam ruang-ruang publik (politik dan teritorial). Tak satupun para pelanggar HAM (dari kopral sampai Jenderal) yang terjerat hukum. Tentara tetap saja untouchable. Reformasi pun menjadi jargon dan sumber kelatahan pejabat -pejabat kita. Siapa yang tidak mengaku reformis? Sebagaimana jargon "globalisasi", "keterbukaan",dan "OTB" , dulu merupakan terminologi umum bagi pejabat (dan koran, tentunya) Begitulah, jauh dari panggang api.

Dalam kondisi seperti ini, gerakan mahasiswa seolah ditinggalkan gerbong reformasi yang dahulu didengung-dengungkannya. Kita saat ini berada dalam fase dimana tuntutan reforms saja tidak cukup, tidak memadai lagi. Perubahan-perubahan yang ada tidak bersifat substansif, baru kulit luarnya saja. Realitas politik secara substansif menuntut gerakan yang substansial jua. Proses yang dialami bangsa ini sekarang mengulang fakta sejarah dimana ketika dalam situasi kritis kelompok konservatif (dan /atau moderat) mengambil alih kekuatan dan tidak bertindak revolusioner, maka situasi akan kembali mencapai taraf ketidakpuasan yang luas. Berikutnya, kelompok ini akan ditumbangkan oleh rakyat yang menuntut perubahan yang lebih baik dan mendasar.

Gerakan mahasiswa harus segera mempertegas orientasi gerakan yang melibatkan rakyat dalam perubahan sosial. Mahasiswa adalah bagian dari gerakan rakyat. Perubahan politik macam apapun tidak mungkin terjadi apabila tidak didukung oleh kekuatan rakyat. Pengalaman era 1978, 1980-an terbukti gagal membangun kekuatan efektif manakala mereka memposisikan diri sebagai kelompok elitis, terpisah dari masalah rakyat, sibuk dengan wacana-wacana besar dan abstrak.

Selama tiga puluh tahun, wacana revolusi telah dikaburkan dan ditutupim oleh rezim orde baru. Revolusi olehnya diberi arti sempit sebagai prubahan yang pastimenelan korban, berdarah. Revolusi olehnya ditabukan, karena kekuatan manapun ingin agar dirinya tidak diganggu.Padahal tidak semua revolusi seperti yang dikuatirkan.Revolusi adalah perubahan cepat yang mendasar,menyeluruh, menggantikan sistem sebelumnya. Semuanya tergantung apakah kita mampu mengarahkan.

Proklamasi Indonesia sendiri tercapai justru berkat keikutsertaan mahasiswa(kaum intelektual) menggerakkan revolusi kemerdekaan. Tidak ada jalan lain. Setelah usha-usaha reform dicoba menembus benteng kekuasaan kolonial, baik lewat volkstraad maupun program-program partai pribumi. Namun karena sifat status Quonya, penjajah membuat perubahan pada kulit-kulit luarnya saja.

Pengalaman ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan rakyat menyusun posisi tawar yang tinggi hanya dap[at dijawab apabila terbangun aliansi taktis strategis kekuatan masssa progresif dengan kaum terpelajar, kaum menengah. Revolusi yang kita maksud adalah keluar bersifat nasional (Revolusi Nasional) yang kan menumbuhkan karakter berdikari Indonesia terhadap ketergantungan asing, kedalam bersifat kerakyatan (revolusi sosial) yaitu membesihkan feodalisme yang masih kuat dalam masyarakat kita. Diatas semua itu, revolusi kita harus berdasar atas prinsip-prinsip kemanusiaan unversal. Karakter revolusioner yangharus dimiliki setiap organisasi gerakan mehasiswa akan mempengaruhi bentuk dan sifat. Ciri gerakan yang terbuka dalam "Idiologi", longgar secara struktural, Independen, dan bersemangat Egaliter masih relevan dipakai.

Agar sampai pada tahap maximal, saatnya kini mahasiswa balik kandang: kampus. Sejak ini harus dibentuk komunitas-komunitas intelektual yang disiapkan secara serius menjadi pusat-pusat dialektika. Pusat dimana realitas sosial dianalisis dan diproyeksikan. Komunitas ini penting karena pada saat dimana momentum perubahan tiba, mahasiswa tidak lagi gagap dan mampu mengarahkan kekuatan rakyat. Mahasiswa harus sudah menyiapkan strategi dan taktik yang tepat bukan hanya untuk melakukan pendibrakan politik namun juga penyelesaian politik, sebagai mana yang telah dilakukan oleh generasi 1930-an. Selanjutnya penguatan jarinag antar elemen organisasi mahasiswa yang telah ada ditingkatkan sebagai media sharing, dialog mengenai penanganan kasus, atau isu, dan mempererat hubungn emosional untuk pada saatnya nanti digerakkan bersama-sama menjadi barisan yang utuh. Basis-basi s kampus dengan massa mahasiswanya yang militan, radikal dan terlatih, telah disiapkan menjadi kelompok penekan yang secara efektif melancarkan tuntutan -tuntutan aktual.

Bagian terpenting adalah menggalang kekuatan dengan sektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani, guru, kelompok profesional, dan lain-lain yang scara nyata dirugikan oleh kekuasaandan sadar akan kebutuhan perjuangan. Apabila hendak berjuang bersama rakyat mahasiswa haruslah meninggalkan karakter borjouis kecil atau borjouis imut-imut/ watak borju, mentalitas kere ,yang individualis, mempertahankan status quo (kemapanan ), takut pada revolusi, dan mendukung rezim penguasa. Aliansi yang demikian apapun nama dan bentuknya menuntut konsekwensi pada pilihan pendekatan. Pendekatan yang tepat adalah pendidikan politik dengan berdasar pada prinsip self help dan self confidence. Perubahan kemudian bukan hanya terletak pada pemahaman kognitif masyarakat melainkan juga harus menjadi kebutuhan (dan keharusan sejarah) masyarakat itu sendiri. Semangat perubahan tentu saja harus berakar pada sendi-sendi sosio kultural masyarakat. Dengan demikian perubahan yang dimaksud mengikuti hukum perkembangan masyarakat.

Selamat bekerja!!!

Tidak ada komentar: